0 "UU MINERBA" JUDUL TERBARU DAGELAN DI NEGERI INI

“Kalau memang smelter itu merugikan, mengapa mereka, bangsa asing, masih membangunnya. Kalau itu memang menguntungkan, kenapa kami, bangsa Indonesia, tidak boleh memilikinya”
Tepat 12 Januari 2014 kemarin, Kabinet Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014 yang diikuti Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang pengaturan pelaksanaan pengelolaan mineral di negeri ini dan diharapkan menjadi pedoman teknis UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. UU Minerba sendiri adalah produk hukum yang mempunyai tugas berat, yakni mengemban amanah UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 dan 3. Dari dua peraturan yang dikeluarkan tersebut, kami anggota IMMG ITB (Ikatan Mahasiswa Metalurgi Institut Teknologi Bandung) merasa adanya ketidaksesuaian antara PP dan Permen tersebut dengan apa yang diamanahkan UU Minerba apalagi berbicara UUD’45. Hal ini nantinya berdampak pada sebuah kalimat sakral yang dinamakan kedaulatan dan kemandirian bangsa.
Penantian akan keberanian sikap pemerintah menerapkan dengan benar peraturan minerba di negeri ini kandas sudah. Pemerintah berhasil “ditipu” oleh berbagai macam alasan dan ancaman yang dilakukan oleh pemilik-pemilik tambang termasuk konglomerasi asing seperti Freeport dan Newmont dalam me-lobby, bahkan mungkin membohongi pemerintah agar tidak jadi mengimplementasi undang-undang minerba tersebut.

Jika kita baca berita di media akhir-akhir ini, maka isinya selalu tentang memperdebatkan istilah “pengolahan dan pemurnian’ versus istilah “pemurnian”. Definisinya mulai dikabur-kaburkan bahkan dipelesetkan demi kepentingan investor-investor asing yang kami anggap “malas” untuk berusaha memaksimalkan produknya untuk kesejahteraan rakyat. Bahkan dengan arogannya, mereka dapat mempengaruhi asosiasi buruh untuk turun ke jalan, meracuni mereka untuk melakukan demo-demo dan kampanye bahwa undang-undang minerba dan aturan turunannya-lah yang salah.
Isu PHK membuat pemerintah gemetaran dan wacana untuk relaksasi ekspor sudah dianggap hampir pasti terjadi. Drama ini layaknya “Snouck Hurgronje”, seorang Belanda pada zaman penjajah yang menyamar menjadi kyai sufi di Aceh dan berhasil  membuat propaganda dan adu domba sehingga berhasil mengelabui rakyat Aceh walaupun akhirnya ketahuan. Bedanya sekarang, selain para ”legiun asing”, anak bangsa pun ikut berkhianat termasuk beberapa anak merah-putih yang katanya ahli pertambangan dan metalurgi, ikut melakukan propaganda untuk menggerogoti kekayaan alam negeri ini. Mereka mengumbar janji akan melakukan pembangunan dengan serius dalam tempo tiga tahun mendatang di tahun 2017. Percayakah anda mereka akan melakukannya? Padahal dahulu ketika diamanahkan pada tahun 2009 saja, lima tahun lamanya, mereka masih mengatakan belum siap, lebih tepatnya tidak menyiapkan diri karena tidak melakukan apa-apa. Melihat pengalaman bagaimana gesitnya investor asing berkilah, relaksasi tidak lebih sebagai “buying time” untuk mengatur strategi untuk kembali membuat alasan bahwa tahun 2017, perusahaan juga masih belum siap. Dan kejadian hari ini akan terulang kembali, kami yakin akan hal itu.
Mengapa kami yakin? Karena sampai saat ini, pemerintah belum berani mengamandemenkan kontrak Freeport dan Newmont mengenai komitmen membangun smelter di 2017. Atau minimal secara tertulis membuat pakta integritas bahwa Freeport dan Newmont siap membangun smelter di 2017. Kalau pemerintah tidak tegas lagi, dan saya anggap tidak akan pernah tegas, maka jangan pernah bermimpi hilirisasi terjadi di Indonesia. Dan amanah undang-undang minerba hanya menjadi “dagelan politik” yang mencederai kepercayaan rakyat kepada pemerintah termasuk para dewan terhormat di DPR.
Apakah bangsa ini mau terus ditipu lagi? Lalu jika tidak mau tertipu, apa yang harus seharusnya dilakukan pemerintah? Berdasarkan kajian yang kami lakukan, terdapat tiga hal yang harus pemerintah ketahui dan menjadi dasar pengambilan kebijakan kedepannya. Pertama adalah masalah semantik ”pengolahan dan pemurnian” lalu ”pemurnian”, kedua adalah kelayakan tekno-ekonomi pembangunan smelter dan ketiga mengenai kecukupan jangka waktu 5 tahun untuk membangun smelter.

Istilah Pengolahan dan Pemurnian
Untuk menjawab kebingungan tentang definisi pengolahan dan pemurnian, mari kita mulai dengan apa yang diamanahkan oleh UU minerba, UU No 4 2009, terutama ada pasal 170, ”Pemegang Kontrak Karya (KK) yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya lima tahun sejak undang-undang ini diberlakukan”. Sementara pada pasal 93 PP 23 tahun 2010 dinyatakan ”pemegang IUP dan IUPK operasi produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi secara langsung maupun bekerja sama dengan perusahaan pemegang IUP dan IUPK lainnya”. Keduanya menyiratkan bahwa tidak ada bijih maupun konsentrat yang akan diekspor sebelum dimurnikan sesuai dengan kadar pemurnian masing-masing jenis mineral. Hal inilah yang dicita-citakan oleh founding father Indonesia yang termaktub di UUD pasal 33.
Disini ada dua istilah yaitu “pengolahan dan pemurnian” yang diwajibkan kepada IUP dan IUPK, dan “pemurnian” yang diwajibkan kepada perusahaan KK. Untuk menyamakan pemahaman, sebagai orang yang pernah belajar ilmu pertambangan dan metalurgi, kami akan coba menjelaskannya.
“Pengolahan/processing: terminologi yang sering digunakan dalam pengolahan mineral/mineral processing yang produk akhirnya berupa konsentrat dengan kadar mineral tertentu. Definisi pengolahan mineral menurut Wills (2005), yakni proses/operasi dimana bahan galian diolah sedemikian rupa dengan mempergunakan perbedaan sifat fisika sehingga menghasilkan produkta yang dapat dijual dan produkta yang tidak berharga dengan tidak mengubah sifat fisik/kimia bahan galian yang bersangkutan”
“Pengolahan/refining: proses/operasi yang dilakukan untuk menghasilkan logam atau paduan semurni mungkin dengan membebaskan logam dari senyawanya dan memisahkan logam dari pengotor ikutannya menggunakan prinsip kimia dan fisika”
Sementara itu, menurut Davenport (2002), logam tembaga murni adalah sebuah produk yang dihasilkan dari proses konsentrasi, peleburan, dan pemurnian. Produk logam tembaga murni atau biasa disebut copper cathode mempunyai kadar tembaga 99.9%. Dirjen Minerba-ESDM, R. Sukhyar, seperti yang ditulis Kantor Berita Antara, juga menyatakan hal yang sama bahwa konsentrat haruslah diolah lagi sehingga dapat dikatakan sebagai produk hasil pemurnian dengan kadar 99%. Namun, pernyataan beliau seperti kita ketahui bersama berbeda dengan apa yang ditetapkan pada Permen tersebut, yang justru membolehkan ekspor konsentrat dengan kadar 15% Cu.
Sementara bila kita menggunakan terminologi bisnis, misal untuk tembaga dan mengacu kepada London Metal Exchange (LME), maka istilahrefined copper” adalah tembaga murni atau tembaga katoda yang memiliki kadar 99,9% Cu. Dan bahkan harga penjualan tembaga mengacu pada harga katoda tersebut.
Dari definisi di atas, maka sudah jelas bahwa pemurnian yang dimaksud oleh UU No 4 tahun 2009 adalah meminta perusahaan KK yang sudah beroperasi untuk membangun smelter dan menghasilkan logam murni, bukan sekedar meningkatkan kadar mineral dalam konsentrat. Jika melihat data ESDM, maka semua KK yang beroperasi itu tidak ada yang mengekspor bijih dan semua sudah dalam posisi mengekspor konsentrat (sudah melakukan pengolahan). Maka jika hanya hanya memerintahkan atau mengatur untuk melakukan “pemurnian” dalam tingkatan konsentrat, kenapa pemerintah harus repot-repot membuat peraturan dan menunggu 5 tahun lamanya?
Selain itu, jelas sekali bahwa kata-kata pengolahan dan pemurnian adalah dua kata yang tidak dipisah. Apabila kita melihat dari segi bahasa kata penghubung ‘dan’ dapat diartikan adalah keharusan keduanya, bukan sebuah pilihan. Dalam PP baik PP No. 23 Tahun 2010, PP No.24 Tahun 2014, dan terakhir PP No.1 Tahun 2014, dua kata tersebut selalu disatukan dengan kata penghubung ‘dan’. Akan tetapi, konsistensi tersebut tidak berlanjut ke dalam peraturan yang bersifat teknisnya, yakni Permen No. 1 Tahun 2014. Di dalam Permen tersebut kedua kata tersebut dihubungkan dengan kata penghubung ‘dan/atau’. Dari sini kita dapat melihat adanya ketidaksesuaian maksud, karena dengan mengganti kata penghubung sama saja mengganti makna yang terkandung di dalamnya.
Yang membuat miris adalah kadar minimum tembaga dalam produk yang boleh diekspor adalah 15%. Sedangkan untuk jenis komoditas mineral lain, ambang batasnya berada di atas nilai tersebut.  Tembaga merupakan komoditi yang dikuasai oleh dua perusahaan asing, yakni PT. FI (PT Freeport Indonesia) dan PT. NNT (PT Newmont Nusa Tenggara) yang keduanya merupakan perusahaan pemegang KK (kontrak karya). Angka 15% yang ditentukan sebagai kadar minimum konsentrat tembaga yang dapat diekspor, kami tengarai diputuskan dengan sangat tidak ilmiah dan sarat kepentingan. Angka tersebut ditetapkan hanya untuk kepentingan perusahaan asing penguasa tembaga tanah air kita, agar kedua perusahaan tersebut tidak perlu berbuat apa-apa lagi karena saat ini kandungan tembaga (berupa mineral) dalam konsentratnya berkisar 18-25%. Memang benar ada bea ekspor yang diterapkan, tetapi itu saja belum cukup dan tetaplah bentuk pengkhianatan. Tiga tahun waktu yang diberikan kepada kedua perusahaan tersebut juga adalah sebuah penundaan yang nantinya kami percaya akan terulang lagi pada 3 tahun mendatang (pengancaman PHK dll).

Tekno-Ekonomi Pembangunan Smelter
   Jika melihat dari sisi teknologi, tidak ada masalah dengan opsi teknologi yang tersedia untuk membangun smelter. Tiap komoditas sudah memiliki jalur produksi yang terbukti menguntungkan dan telah banyak dibangun pabriknya di luar negeri sana. Untuk besi-baja ada jalur Blast Furnace dan Rotary Kiln, tembaga ada Flash Smelting dan Mitsubishi Process (seperti di PT. Smelting) dan untuk nikel dapat menggunakan rute RKEF. Pemilihan teknologi mana yang akan digunakan, bergantung kepada pengusaha dengan melihat kondisi keuangan, iklim investasi, ketersediaan bahan baku dan lainnya.
   Salah satu alasan para pengusaha tidak mau melakukan pengolahan dan pemurnian adalah karena bisnis tersebut tidak layak secara ekonomis terutama smelter tembaga. Saat ini Freeport dan Newmont sudah melakukan Pra-Feasibility Study (Pra-FS) dan melakukan hitung-hitungan  tekno-ekonomi pembangunan smelter yang hasilnya selalu tidak ekonomis. Namun, sampai detik ini, hasil hitungan Pra-FS tersebut belum pernah ada yang memverifikasi baik oleh pihak independen maupun pemerintah.
Setelah dilakukan penelusuran, ternyata perhitungan yang dilakukan itu bukanlah kelayakan ekonomi jika PT. FI dan PT. NNT membangun pabrik pengolahan pemurniannya sendiri secara integrasi, namun merupakan perhitungan kelayakan ekonomi smelter yang berdiri sendiri di lahan yang tidak ada infrastruktur (greenfield). Tentu saja hal ini tidak ekonomis, karena semua menjadi mahal dan ada biaya tambahan yang harus dibayarkan untuk pengadaan infrastruktur, seperti pelabuhan, jalan, dan sebagainya.      Menurut hasil perhitungan sederhana yang kami lakukan, pembangunan smelter tembaga secara terintegrasi memang sedikit menurunkan nilai return of investment (ROI), namun di sisi lain malah akan menambah keuntungan (nett profit) perusahaan tambang dan juga meningkatkan penerimaan negara baik dari sisi pajak maupun royalti. Untungnya pabrik smelter ini dibuktikan dengan banyaknya pabrik smelter tembaga terintegrasi seperti yang ada di Amerika Serikat, China, dan Chile. Bodohnya lagi, bila memang smelter itu merugikan kenapa mereka (negara asing) masih membangunnya. Pertanyaanya, jika itu menguntungkan, kenapa kita (bangsa Indonesia) tidak boleh membangunya? Apa ini bentuk konspirasi baru yaitu pembodohan kepada bangsa ini?
Sementara itu, untuk pemegang IUP kecil yang bermasalah dengan kekurangan modal membangun smelter, permasalahan ini dapat diatasi dengan dua cara. Pertama dengan mengirimkan bijih/konsentrat ke pemegang IUPK besar untuk diolah atau solusi kedua yakni membentuk konsorsium untuk membangun pabrik smelter bersama.

Jangka Waktu 5 Tahun
Perusahaan pertambangan berpendapat bahwa waktu 5 tahun belumlah cukup untuk membangun sebah pabrik smelter. Padahal waktu tersebut sudah cukup ideal berdasarkan pengalaman berbagai perusahaan yang memang berniat terjun di industri ini. Lima tahun tersebut bila didetailkan dapat disederhanakan sebagai berikut:
·         1 tahun pembuatan Feasibility Study
·         1 tahun pengajuan financial closure dan perizinan
·         3 tahun untuk tahap engineering, procurement, and construction (EPC)

Sehingga bila sejak tahun 2009 perusahaan pemegang IUP, IUPK dan KK memiliki komitmen membangun smelter, maka di tahun 2014 ini sudahlah dapt kita lihat infrastruktur pabrik tersebut. Oleh karena itu, tidak ada alasan lagi untuk tidak membangun smelter apalagi karena keterbatasan waktu.
Selain dari sisi pemilik tambang, sisi pemerintah pun perlu dievaluasi keberjalanannya. Semenjak UU No 4 Tahun 2009 dikeluarkan, kami melihat terjadinya kekosongan pengawasan dari pemerintah yang dibuktikan dengan tidak adanya kejelasan status pembangunan smelter dari para pemilik tambang.
Hal lain yang menjadi kekurangan pemerintah adalah birokrasi yang masih rumit terkait berbagai ijin yang harus dipenuhi oleh calon investor. Kira-kira ada sekitar 50 perizinan apabila suatu smelter dapat dibangun dan ini adalah sebuah angka yang ‘gila’ menurut kami. Seharusnya pemerintah berani memotong jalur birokrasi demi percepatan proses pembangunan smelter. Selain itu, janji insentif bagi pengusaha-pengusaha yang ingin membangun plant pemurnian juga belum ditepati dan tidak jelas pelaksanaannya yang semakin membuat investor tidak tertarik. Apalagi pemerintah dinilai gagal untuk memenuhi kebutuhan dasar sebuah industri seperti infrakstruktur jalan dan kebutuhan energi untuk wilayah-wilayah remote area yang akan dijadikan plant pemurnian. Padahal langkah awal untuk menarik investor adalah terpenuhinya kebutuhan dasar setiap indsutri.
Hal terakhir yang menjadi perhatian adalah minimnya koordinasi antar kementerian di dalam Kabinet Yudhoyono ini. Saya melihat presiden gagal mengatur anak buah di bawahnya. Mungkin ini yang dinamakan negeri otopilot, banyak kebijakan antar kementerian yang bertentangan. Kemungkinan besar adalah perebutan “lahan” masing-masing kementerian atau memang tidak ada arahan jelas dari atasannya? Sebagai contoh, menjelang penutupan keran ekspor mineral mentah, Kementerian ESDM mencoba memulai dengan melarang beberapa ekspor mineral dengan menaikkan bea keluar. Namun kemudian, ekspor diperbolehkan oleh Kementerian Keuangan dengan alasan neraca ekspor-impor tidak seimbang, anjlok drastis begitu kata Chatib Basri. Selain itu masih terdapat masalah tentang IUI dan IUP-OPK dimana IUI adalah izin yang dikeluarkan kementerian perindustrian dan IUP-OPK adalah izin yang dikeluarkan kementerian ESDM. Kedua izin tersebut menyangkut domain yang sama namun dipegang oleh dua instansi yang berbeda.
Kembali teringat kata-kata Bung Karno sebagai bapak bangsa yang mengatakan hal yang sama yakni, “janganlah sampai tanah air ini kita gadaikan pada asing, biarlah anak-anak bangsa ini yang mengolahnya”


Salam perjuangan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Kicau IMMG

Agenda IMMG

MetalNews (by Fastmarkets)