- Presentasi Rozik
B. Soetjipto
Pertama, Presdir PT
Freeport Indonesia (PTFI), Rozik B. Soetjipto, memberikan presentasi umum mengenai PTFI.
Sejarah PTFI sudah dimulai sejak tahun 1960, dimana saat itu Ekspedisi yang
dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint mulai menjelajah Ertsberg. Operasi PTFI
sendiri baru dimulai pada 1967, sejak penandatanganan KK (Kontrak Karya)
pertama. Lalu, tambah Rozik, "Pada 1991, kami menandatangani kontrak
berdurasi 30 tahun, dengan opsi perpanjangan 2x10 tahun."
Potensi cadangan
tembaga di Papua, menurutnya masih sangat besar. "Dengan kapasitas
produksi seperti sekarang, bisa mencapai 40-50 tahun." PTFI sendiri
mengolah sekitar 200.000 ton bijih setiap hari, dengan kandungan Cu (tembaga)
sekitar 0,76%, dan kandungan Au (emas) tak lebih dari 0,8 gram/ton. Dari bijih
sebanyak itu akan diolah hingga diperoleh konsentrat sebanyak sekitar 5500 ton
per hari, dengan kandungan Cu sebesar 21%, dan Au sebesar 17 gram/ton.
Produksi PTFI
sendiri tidak selalu mulus. Pada tahun 2011, terdapat pemogokan kerja
besar-besaran yang menyebabkan
produksi menurun. Selain itu, pada 2014, terjadi penghentian produksi sebesar 60%, sebagai akibat
dari larangan ekspor bijih dan konsentrat yang diterapkan pemerintah Indonesia.
PTFI memurnikan sebanyak 40% konsentratnya (30% di presentasi ESDM) di
Indonesia, tepatnya di PT Smelting Gresik, sehingga perusahaan ini tidak perlu
menghentikan seluruh produksinya. Baru mulai bulan Agustus 2014, PTFI
diperbolehkan kembali mengekspor konsentrat, dengan dikenai pajak keluar
sebesar 7,5%.
Sekitar tahun
2015-2016, diperkirakan cadangan tembaga dan emas yang ada di tambang permukaan
akan habis. Itulah sebabnya, mulai tahun 2006, PTFI melakukan tunneling untuk
menambang bijih yang ada di bawah tanah. Saat ini, sudah ada 400 km tunnel di
bawah tanah, dengan 70% dari total produksi PTFI berasal dari sini. Diharapkan,
pada 2022, sekitar 900-1000 km tunnel dibawah tanah seluas 10.000 ha (luas
wilayah eksploitasi PTFI) telah selesai dibuat, dengan produksi telah mencapai
design capacity-nya. Inilah yang menurut Rozik menjadi prospek PTFI kedepan
untuk melanjutkan operasi setelah tahun 2021 (dimana kontrak 30 tahunnya telah
habis, namun masih ada opsi perpanjangan 2x10 tahun). Selain itu, investasi
yang besar untuk pengembangan tambang bawah tanah ini juga menjadi bahan
argumentasi PTFI untuk meneruskan operasi.
Setelah itu, Rozik
melanjutkan presentasinya dengan menjelaskan dampak ekonomi dari adanya PTFI.
Mengutip sebuah studi dari LPEM-FEUI,
Rozik menyebutkan bahwa PTFI telah memberikan kontribusi terhadap PDB
Indonesia sebesar 0,8%, lalu kontribusi terhadap PDRB Provinsi Papua sebesar
37,5%, dan kontribusi sebesar 91% dari PDRB Kabupaten Mimika.
Dari sisi tenaga
kerja, Rozik menyebutkan bahwa PTFI telah menyerap lebih dari 30000 orang
tenaga kerja yang berkewarganegaraan Indonesia, baik sebagai karyawan, maupun
sub-kontraktor. Selain itu, ada sebanyak 796 orang WNA (Warga Negara Asing)
yang juga bekerja di PTFI.
Untuk CSR, PTFI
juga telah menganggarkan 1% dari pendapatan kotornya untuk dana kemitraan,
serta dana Local Social Development yang besarnya mencapai US$ 71 juta. Dana
ini digunakan dalam peningkatan kesehatan dan pendidikan masyarakat, serta
untuk pengembangan perekonomian.
- Presentasi R.
Sukhyar
Di bagian kedua,
Dirjen Minerba Kementerian ESDM RI, R. Sukhyar, memberikan tambahan-tambahan
dari presentasi sebelumnya. Beliau memberikan pandangan pemerintah dalam
permasalahan Renegosiasi Kontrak PTFI.
UU 4/2009, dalam
pandangan pemerintah, adalah suatu kesempatan untuk mengubah paradigma pengelolaan Sumber
Daya Mineral di negeri ini, dari paradigma lama yang hanya mengeksploitasi, sekedar untuk
mendapatkan keuntungan berupa uang, menjadi paradigma baru, dimana Sumber Daya
Mineral dikelola untuk pembangunan yang berkelanjutan, yaitu pembangunan yang
pro growth, pro job, pro poor, serta pro environment. Namun, usaha ini masih
mendapat tantangan,seperti infrastruktur di Indonesia yang masih kurang, serta
dunia perbankan yang kurang berpihak.
Untuk PTFI sendiri,
Sukhyar memaparkan bahwa dari perundingan-perundingan sebelumnya, luas area
kerja PTFI sudah dikurangi dari 2,6 juta hektar pada tahun 1991, hingga tahun
lalu disepakati
bahwa area kerja
PTFI seluas 127.000 hektar, dengan area eksploitasi hanya seluas 10.000 hektar.
Konsentrat hasil PTFI selama ini sebagian besar diekspor ke berbagai negara,
seperti Spanyol, Filipina, Tiongkok, Jepang, India, serta Korea, sementara
sebagian sisanya (30-40%) dikirim ke PT Smelting Gresik untuk dimurnikan.
Namun, Sukhyar menambahkan, Anode slime yang merupakan sisa pemurnian Tembaga
yang dihasilkan di PT Smelting Gresik, ternyata masih diekspor. Padahal, anode
slime ini masih
mengandung emas serta berbagai logam jarang lainnya yang bernilai tingggi.
Untuk itu,
pemerintah telah menetapkan 2017 sebagai batas akhir bagi perusahaan-perusahaan
tambang untuk membangun industri pemurniannya. "Jadi pasca 2017, tidak ada
lagi ekspor bijih, intermediate, atau
anode slime," kata Sukhyar. Selain itu, UU 4/2009 juga sudah tidak
mengenal istilah 'Kontrak Karya' seperti yang digunakan PTFI pada 1991. Sekarang yang diberikan pada
perusahaan adalah Izin Usaha Pertambangan. Namun, terkait PTFI serta perusahaan
lain yang masih memiliki Kontrak, Sukhyar menambahkan, "Kontrak masih
diakui sampai waktu berakhirnya Kontrak. Setelah itu, semua IUP."
Senada dengan
pernyataan dari PTFI, pemerintah juga berpendapat bahwa dengan investasi dari
PTFI yang besar karena pembangunan underground mine dan smelter, maka pay back
period PTFI akan melewati tahun 2021. Sehingga setelah 2021, PTFI bisa
mendapatkan IUP, namun dengan mengajukan ke pemerintah Indonesia. Selain itu,
ada juga berbagai syarat lain yang harus dipenuhi PTFI, seperti misalnya
Divestasi dan Pemasukan negara. PTFI wajib memberikan 30% sahamnya ke
Pemerintah Indonesia, yang saat ini baru menguasai 9,36%. Kemudian, karena PTFI
masih diperbolehkan mengekspor konsentrat, ia dikenai pajak ekspor sebesar
7,5%, yang akan dihilangkan ketika pembangunan smelter sudah mencapai 30%.
Syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi PTFI antara lain: luas area kerja dan
area eksploitasi, pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kandungan unsur
lokal, serta kontrak.
Selain membahas
PTFI, Sukhyar juga mengingatkan kepada mahasiswa bahwa masalah di dunia
pertambangan bukan cuma PTFI, tapi ada juga IUP yang bermasalah, serta illegal
mining yang perlu diselesaikan juga.
- Sesi Diskusi
Setelah pemaparan
dari kedua narasumber, dibuka sesi pertanyaan untuk para audiens. Berikut ini
beberapa pertanyaan dan jawabannya:
> Seharusnya,
menurut UU Minerba, tahun 2014 ekspor bijih sudah dilarang. Ini kenapa gagal
(mundur sampai 2017)? Jika tahun 2017 kembali terjadi hal serupa, apakah akan
diundur lagi?
R. Sukhyar (S) :
Faktanya, pemerintah memang lalai dalam mengawal UU 4/2009. Tapi, yang pasti,
pasca 2017, tidak akan ada bijih ataupun bahan antara (intermediate) yang
diekspor. Kalau misalnya tahun 2017 masih belum selesai, akan kita lihat lagi.
Selain itu, UU
4/2009 juga sangat lama dalam pembahasannya. UU ini adalah salah satu dari
sedikit UU yang pembahasannya sampai lebih dari 3 tahun. UU ini juga memerlukan
banyak peraturan tambahan yang perlu dibuat.
Rozik B. Soetjipto
(R) : Dengan UU Minerba, ada banyak hal-hal baru yang menjadi kewajiban
perusahaan, sehingga menimbulkan perdebatan antara pemilik modal dengan
pemerintah.
> Berapa
sebenarnya revenue Freeport? Lalu berapa banyak bagian pemerintah?
R : Revenue PTFI,
sebesar US$ 4-6 milyar. Angka ini adalah hasil penjualan kotor, belum dikurangi
biaya modal dan operasi. Dari situ, pemerintah Indonesia mendapat royalti
sebesar 1%, yang kini telah diubah menjadi 3,75%. Namun perlu diingat, royalti
diambil dari pendapatan kotor. Jika dihitung, maka 3,75% itu setara dengan
sekitar 9% profit PTFI. Selain royalti, kami juga membayar dividen kepada
pemerintah Indonesia sebagai salah satu pemilik saham. Pemerintah Indonesia
mendapatkan 59% dividen yang dibayarkan PTFI kepada pemilik saham. Selain itu,
kami juga membayar pajak badan usaha serta pajak-pajak lainnya.
> Kenapa
pemerintah sepertinya mengikuti keinginan PTFI?
S : Tidak begitu.
Semua harus ada trade-off-nya, tidak bisa seenaknya.
> Apa yang
dilakukan Freeport dari tahun 2009-2014?
R : Kalau dari
perusahaan-perusahaan sendiri, tidak semuanya langsung tunduk dengan UU baru. Perusahaan
berargumen dengan menggunakan Kontrak yang sudah disetujui sebelumnya. Sebagian
ada yang mengambil jalur hukum. Kami tunduk kepada aturan pemerintah, namun
kami juga butuh waktu.
Pada waktu
2009-2014 itu, kami masih membicarakan mengenai Kontrak Karya kami dengan UU
dari Pemerintah, namun
pada akhirnya, kami sepakat untuk mengikuti UU. Kami juga membicarakan mengenai
UU Minerba bersama dengan pihak pemerintah dan pemegang saham lain. Pemegang
saham lainnya merasa keberatan untuk investasi smelter.
> Bagaimana
dengan pembangunan smelter? Apakah pemerintah ikut mengawasi?
S : Untuk membangun
smelter memang perlu perencanaan yang matang. Perlu dipikirkan mengenai kapasitas
produksi, berapa investasinya, apa produknya, dan kemana produknya nanti.
Pemerintah akan mengevaluasi kemajuan pembangunan smelter setiap 6 bulan
sekali, jika ditemukan kemajuannya tidak sesuai batas target, maka ekspor
perusahaan akan dihentikan. Yang mengevaluasi juga bukan tim dari ESDM, namun
teman-teman dari ITB, UI, UGM, dan kampus-kampus lainnya.
> Apakah BUMN
siap untuk mengambil alih tambang yang dikelola PTFI?
S : Kami tidak ada
rencana pengambilalihan seperti itu. Kalau memang ada, harus direncanakan dari
jauh-jauh hari. Namun memang tidak semudah itu. Perlu diingat juga, bahwa
sebenarnya sudah ada wakil dari Pemerintah di jajaran Komisaris PTFI. Namun,
perlu ada wakil pemerintah juga di manajemen.
> Kenapa di
aturan yang baru, batas kandungan mineral untuk diekspor jadi 15%, padahal PTFI
mampu lebih dari itu?
S : Banyak IUP lain
yang kemampuannya berbeda, sehingga tidak bisa disamakan dengan PTFI. Namun,
setelah 2017, yang pasti pemurnian sampai 99,99%.
> Apa yang bisa
dilakukan mahasiswa untuk mengawal kebijakan?
R : Yang saya lihat
selama menjadi dosen, tidak banyak mahasiswa yang berdialog dengan dosen.
Mahasiswa itu harus mampu berbicara. Namun, mahasiswa juga perlu mendalami
pokok permasalahan yang dihadapi.
> Kenapa PTFI
mau membangun smelter?
R : Perlu
diketahui, bahwa pemurnian hanyan meningkatkan 5% nilai logam. Dari segi bisnis
pasti tidak menarik. Lalu, kenapa di Cina banyak industri pemurnian? Jawabannya
adalah karena banyak industri
manufaktur. Produk manufaktur ini memiliki nilai tambah, berupa nilai teknologi
dan kreativitas. Harapan kami, ada
peningkatan nilai logam, sehingga investasi kami bisa segera dikembalikan. Namun, untuk
sementara ini, kami fokus untuk mematuhi peraturan terlebih dulu.
- Closing Statement
Setelah sesi
diskusi selesai, kedua narasumber dipersilahkan untuk memberikan pernyataan
penutup.
Rozik B. Soetjipto menyatakan terima kasihnya telah diundang di acara
diskusi tersebut. Mantan dosen ITB ini mengaku bahwa ia baru sekali ini
diundang untuk berdiskusi di ITB. Menurutnya, yang penting dari diskusi ini
adalah bagaimana masyarakat dapat memperoleh informasi yang benar. Dari situ,
barulah bisa memikirkan bagaimana memperbaiki masalah yang ada. Beliau juga
menekankan, bahwa potensi emas di Papua selain PTFI masih banyak, namun tanah
Papua sendiri sulit ditaklukkan, karena itu perlu perencanaan dan kebijakan
yang matang dari pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya ini.
Sementara itu, R.
Sukhyar menegaskan bahwa, dari PTFI ini, yang dilihat tidak hanya keuntungan
dari sisi keuangan saja, namun juga keuntungan dan manfaat lain, seperti
misalnya dari sisi Human Development di Papua.
Selain itu, masalah
yang dihadapi Indonesia bukan hanya mengenai bagaimana mengekstrak logam, tapi
juga bagaimana logam yang sudah murni ini bisa disambut industri manufaktur.
Beliau mengakui, koordinasi antara Kementerian ESDM dengan Kementerian
Perindustrian masih kurang baik di bidang ini. Beliau juga menekankan perlunya
inovasi-inovasi untuk memanfaatkan logam-logam yang ada di Indonesia. (ich, iqp, rud)